Minggu, 29 April 2012

Cara Membuat Roti

Cara membuat roti Lemon Vla

Cara membuat roti Lemon Vla
cara membuat roti Lemon Vla sebenarnya tidak terlalu sulit. Peralatan yang digunakan pun peralatan umum untuk membuat aneka Kue roti atau peralatan untuk membuat kue kering . Resep ini saya posting untuk menyeimbangkan dengan resep masakan dan resep minuman . Saya ingin kedepannya blog ini di penuhi resep masakan , resep kue basah atau resep minuman yang lezat. Dan saya berhara pengunjung mencintai blog ini seperti kami mencintai masakan

Bahan roti lemon Vla:
1600 gr Terigu saran saya Terigu Cakra Kembar
700 gr  Mineral Water atau air mineral
320 gr  margarine kesayangan anda saya biasa menggunakan blueband atau simas
6 gr         Bread improver
250 gr         Gula putih
80 gr  Madu asli
2 btr Telur ayam
30  gr  Ragi / bisa digunakan ragi instan
16 gr  Garam bubuk

Untuk Bahan isian
800 gr  susu cair Ultra High Temperature (UHT) saya sering menggunakan Indomilk
500 gr         Vla instan
200 gr  Air jeruk lemon         

Cara membuat isian roti lemon Vla:
Untuk membuat isian, semua bahan isian dicampur dan dikocok hingga membentuk vla (kental)

Cara Membuat Roti Lemon Vla :

-   Satukan Terigu Cakra Kembar, ragi, bread improver, gula pasir menggunakan mixer, cukup dengan kecepatan rendah lakukan hal ini sampai merata
-    Tambahkan telur, madu dan air, kemudian aduk kembali sampai adonan bersatu
-     Masukan garam dan Simas Margarine, aduk kembali menggunakan kecepatan tinggi sampai kalis
-     bentuk bulatan kemudian istirahatkan adonan selama kurang lebih 20 mnt
-     Potong potong dan timbang masing masing  kurang lebih 50 gr
-     bentuk bulatan kembali lalu istirahatkan selama 10 menit,
-     Bahan yang tadi sudah dibulatkan kemudian pipihkan dan letakan diatas cetakan pie (diameter ± 10 centi meter) isi menggunakan isian dan taruh pada loyang lalu istirahatkan kurang lebih 60 menit
-     Panggang pada suhu  2000 derajat celcius sampai matang.
-    Hiaslah dengan menggunakan buah ceri

hidangkan roti ini untuk acara pertemuan keluarga pasti akan istimewa. tunggu postingan lanjutan dari cara membuat roti lemon vla

Sabtu, 28 April 2012

Aksara Jawa Kuno


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Aksara jawa merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatnya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Akasara Jawa ini digunakan di daerah Sunda dan Bali, meskipun memiliki sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama. Orang jawa sudah mempunyai bentuk penulisan aksara, yang di anggap adi luhung leluhur bangsa jawa hingga kini ( Slamet Riyadi 1996:1). Sebelum itu, tidak dapt bukti yang menunjukan bagsa jawa memiliki aksaranya sendiri ( Poerbatjaraka 1952: VII & Slamet Riyadi 1985:15).

2.1 Tujuan
Tujuan Pembuatan Makalah Bilangan dan Angka pada zaman Jawa Kuno adalah :
1.      Mengetahui Bilangan dan Angka pada zama Jawa Kuno yang digunakan pada zaman sebelum masehi.
2.      Menambah wawasan terhadap pengenalan hasil karya Matematika menurut budaya Jawa.
3.      Sebagai pelegkap nilai Pendidikan Matematika 1.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Aksara
Bahasa tulis merupakan salah satu yang membedakan antara masa awal sejarah dan prasejarah. Perkembangan bahasa tulis bermula sejak sebelum masehi, dimana awalnya manusia menggunakan bahasa gambar untuk berkomunikasi. Perkembangan cara berkomunikasi melalui tanda dan gambar berkembang terus sekitar tahun 3100 SM, bangsa Mesir menggunakan pictograph sebagai simbol-simbol yang menggambarkan sebuah objek. Komunikasi dengan menggunakan gambar berkembang dari pictograph hingga ideograph, berupa simbol-simbol yang mereprentasikan gagasan yang lebih kompleks serta konsep abstrak yang lain. Perpindahan yang mendasar dari bahasa gambar dan tanda yang dibunyikan (pictograph, ideograph-menunjukan beda serta gagasan) hingga bahasa tulis yang dapat dibunyikan dan memiliki arti (phonograph-setiap tanda atau huruf menandakan bunyi). Evolusi dari bahasa tulis merupakan salah satu bagian dari perjalanan peradaban manusia guna mencapai kesempurnaan hidup terutama dalam cara berkomunikasi (Sihombing, 2001).

2.2  Aksara Jawa
Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak. Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Ada Beberapa Aksara, diantaranya :
1.      Huruf Dasar (Aksara Nglegena)
Aksara Nglegena adalah aksara inti yang terdiri dari 20 suku kata atau biasa disebut Dentawiyanjana, yaitu:
ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la, pa, dha, ja, ya, nya, ma, ga, ba, tha, ngahttp://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-aksara-nglegena.png?w=590

2.      Huruf Pasangan (Aksara Pasangan)
Aksara pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Misal, untuk menuliskan mangan sega (makan nasi) akan diperlukan pasangan untuk “se” agar “n” pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan “s” tulisan akan terbaca manganasega (makanlah nasi). Berikut daftar Aksara Pasangan:
http://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-aksara-pasangan.jpg?w=590
3.      Huruf Utama (Aksara Murda)
Aksara Murda yang digunakan untuk menuliskan awal kalimat dan kata yang menunjukkan nama diri, gelar, kota, lembaga, dan nama-nama lain yang kalau dalam Bahasa Indonesia kita gunakan huruf besar. Berikut Aksara Murda serta Pasangan Murda:
http://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-aksara-murda.jpg?w=590

4.      Huruf Vokal Mandiri (Aksara Swara)
Aksara swara adalah huruf hidup atau vokal utama: A, I, U, E, O dalam kalimat. Biasanya digunakan pada awal kalimat atau untuk nama dengan awalan vokal yang mengharuskan penggunakan huruf besar.
http://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-aksara-swara.jpg?w=590

5.      Huruf vokal tidak mandiri (Sandhangan)
Berbeda dengan Aksara Swara, Sandangan digunakan untuk vokal yang berada di tengah kata, dibedakan termasuk berdasarkan cara bacanya.
http://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-sandhangan.png?w=590

6.      Huruf tambahan (Aksara Rekan)
Aksara Rekan adalah huruf yang berasal dari serapan bahasa asing, yaitu: kh, f, dz, gh, z
http://dhenokhastuti.files.wordpress.com/2011/04/aksara-jawa-aksara-rekan.jpg?w=590
7.      Aksara bilangan (Aksara Wilangan)
http://bloghanacaraka.files.wordpress.com/2010/06/angka.gif?w=490

Orang Jawa kuno benar-benar menyukai sastra, bahkan untuk menyatakan bilangan-bilangan mereka menggunakan  bahasa (kata) yang indah-indah sebagai pengganti angka. Banyak orang yang mungkin menganggap kalau angka dan bilangan adalah hal yang sama padahal sebenarnya angka dan bilangan adalah hal yang berbeda. Angka tidak lain adalah simbol yang digunakan untuk melambangkan suatu bilangan sedangkan bilangan itu sendiri merupakan suatu obyek yang abstrak. Sedangkan, apa yang nampak (seperti angka, bilangan, kubus dll) hanyalah merupakan upaya untuk melambangkan hal-hal yang abstrak. contoh:
12——-> angka dan mana bilangan pada “12”.
Pada “12” terdapat dua angka, yaitu angka 1 dan angka 2 sedangkan 12 itu sendiri merupakan bilangan yang melambangkan suatu kuantitas (panjang, berat, umur dll). Jadi “1” dan “2” tersebut merupakan angka-angka yang digunakan untuk melambangkan bilangan “12”,  tentu saja angka-angka 1 dan 2 juga dapat digunakan untuk melambangkan bilangan-bilangan yang lain tergantung dari banyaknya angka “1” dan “2” yang digunakan dan juga tergantung posisi peletakan angka-angka tersebut.
Kesimpulannya adalah terdapat 10 angka, yaitu mulai dari 0, 1, 2, … sampai 9. Oh ya 10 angka yang aku maksudkan tersebut adalah pada sistem penulisan latin, tentu saja masih banyak sistem penulisan yang lain (seperti Arab, Jawa, Cina, Romawi, Babilonia dll).
Kalimat “SIRNA ILANG KERTANING BUMI”  melambangkan tahun runtuhnya kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400. Di sastra Jawa dikenal yang namanya SENGKALA. Sengkala merupakan perlambangan angka dengan kata-kata tetapi sepertinya penggunaan sengkala sebatas pada pelambangan TAHUN, tidak tahu penggunaan sengkala untuk menyatakan kuantitas yang lain. Ada dua macam sengkala, yaitu CANDRA SENGKALA untuk menyatakan tahun Jawa dan Surya Sengkala untuk menyatakan tahun Masehi. Seperti halnya angka dan bilangan, banyak orang yang menganggap kalau candra sengkala sama dengan surya sengkala (mungkin karena mereka hanya fokus pada kata sengkala).
SIRNA ILANG KERTANING BUMI ——–> ada 4 kata.
1400  ———- > ada 4 angka.
Setiap kata memang melambangkan suatu angka. Sebelum kita cari tahu makna dari masing-masing kata, marilah kita amati bilangan tahun 1400. Pada bilangan 1400 terdapat dua angka yang kembar yaitu angka “0”, jadi tentu saja pada sengkala tersebut seharusnya terdapat dua kata yang sama. Kita tahu bahwa arti kata “sirna” melambangkan ketidakadaan (sirna, lenyap, hilang dll) begitu juga kata “ilang” atau hilang, jadi kata sirna dan ilang melambangkan hal yang sama atau dengan kata lain kata sirna dan hilang adalah sama. Maka bisa kita tebak kalau kata sirnadan ilang melambangkan ketidakadaan alias “nol”.
SIRNA ILANG KERTANING BUMI
   (0)         (0)              (?)                (?)
Melambangkan apakah kata kerta (kata dasar dari kertaning) dan bumi?. Sepertinya lebih mudah kalau kita membahas kata bumi lebih dulu karena kita sama-sama tahu kalau bumi itu hanya ada satu (fakta sementara), jadi berarti kata bumi melambangkan 1 dan tentu saja kesimpulan akhirnya kata kerta melambangkan 4.
SIRNA ILANG KERTANING BUMI
  (0)         (0)              (4)                (1)
Jadi pembacaan sengkala arahnya dibalik. Berikut kata-kata yang digunakan dalam sengkala untuk melambangkan suatu bilangan, diantaranya :
Eka,  Bumi, buana,  surya, candra, tunggal, ika, (p)raja, manunggal, Negara, dll
1
(Siji)
Satu
Dwi, Tangan, Sikil, Kuping, Mata, Netra, Panembah, Bekti, dll
2
(Loro)
Dua
Tri, Krida, Gebyar, dll
3
(Telu)
Tiga
Catur, Kerta, dll
4
(Papat)
Empat
Panca, Astra, Tumata, dll
5
(Lima)
Lima
Sad, Rasa, bremana, anggata, dll
6
(Enem)
Enam
Sapta, Sinangga, Sapi, dll
7
(Pitu)
Tujuh
Astha, Naga, Salira, Manggala, dll
8
(Wolu)
Delapan
Nawa, Hanggatra, Bunga, dll
9
(Sanga)
Sembilan
Dasa, Ilang, Sirna, Sonya, dll
10
(Sepuluh)
Sepuluh
Sata
100
(Satus)
Seratus
Sasra
1000
(Séwu)
Seribu
Saleksa
100000
(Satus éwu)
Seratus Ribu
Sayuta
1000000 (Sayuta)
Sejuta

Contoh sengkala-sengkala yang lain, diantaranya :
1.      Lambang kraton Yogya –> “DWI NAGA RASA TUNGGAL” melambangkan tahun 1682.
2.      Kabupaten Banyumas –> “BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA” melambangkan tahun 1582.
3.      Kabupaten Sleman —> “RASA MANUNGGAL HANGGATRA NEGARA” melambangkan tahun 1916 (Masehi).
4.      Kabupaten Sleman —> “ANGGATA CATUR SALIRA TUNGGAL” melambangkan tahun 1846 (tahun Jawa).
5.      Kabupaten Pati —> “KRIDANING PANEMBAH GEBYARING BUMI” melambangkan tahun 1323.
Semua sengkala-sengkala di atas melambangkan atau menunjukkan tahun berdirinya masing-masing daerah. Bahkan ada surya sengkala baru yang cukup bagus untuk menandai peristiwa-peristiwa yang menimpa bangsa dan negara kita di tahun 2006, yaitu “RASA SONYA ILANGING PANEMBAH” yang dapat diartikan“HILANGNYA KESADARAN BERBAKTI”.
Aksara Jawa yang dalam hal ini adalah Hanacaraka (dikenal juga dengan nama Carakan) adalah aksara turunan aksara Brahmi yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, Makasar, Madura, Melayu, Sunda, Bali, dan Sasak.
Bentuk Hanacaraka yang sekarang dipakai sudah tetap sejak masa Kesultanan Mataram (abad ke-17) tetapi bentuk cetaknya baru muncul pada abad ke-19. Aksara ini adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dengan struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha yang mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na yang mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara Latin.

2.3  Penulisan Aksara Jawa
Pada bentuknya yang asli, aksara Jawa Hanacaraka ditulis menggantung (di bawah garis), seperti aksara Hindi. Namun pada pengajaran modern menuliskannya di atas garis.
Aksara Hanacaraka memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi menutup bunyi vokal, 8 huruf “utama” (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8 pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).


2.4  Asal Mula Huruf Jawa Menurut Cerita Rakyat
Rakyat Mendang Kamulan sangat bersukacita. Mereka telah bebas dari keangkaramurkaan. Maka Ajisaka diangkat menjadi Raja Mendang Kamulan, bergelar Prabu Ajisaka. Prabu Ajisaka memerintah dengan adil dan bijaksana. Sang prabu juga berusaha agar rakyatnya menjadi pandai. Rayat diajari bercocok tanam, membuat saluran air, membangun gedung, memajukan perdagangan, mengembangkan pelayaran, dan berbagai ilmu pengetahuan lain. Lebih daripada itu, di Mendang Kamulan tidak ada lagi kesewenang-wenangan.
Rakyat hidup aman dan tentram. Sebelum keadaan menjadi demikian, Kerajaan itu diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang amatlah kejam. Yang sangat mengerikan adalah bahwa Prabu Dewatacengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari, patih Mendang Kamulan harus menyediakan seorang manusia untuk menjadi santapan Sang Prabu. Rakyat Mendang Kamulan sangat menderita. Kehidupan mereka memang masih terbelakang. Mereka belum mengenal ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka belum mengenal huruf.
Tersebutlah seorang pengembara dari negeri seberang, bernama Ajisaka. Ia datang ke Pulau Jawa, bermaksud menyebarkan pengetahuan. Berita mengenai kelaliman Prabu Dewatacengkar telah sampai pula ke negeri seberang. Karena itu, Ajisaka bermaksud pula untuk menolong rakyat Mendang Kamulan dari kesewenang-wenangan rajanya.
Setelah tiba di Mendang Kamulan, Ajisaka ingin segera menghadap Prabu Dewatacengkar. Patih Mendang Kamulan mencegahnya. Ia merasa kasihan bahwa pemuda setampan itu akan mati menjadi santapan rajanya. Akan tetapi, Ajisaka berkeras hati untuk menghadap. Katanya, “Paman patih tidak usah khawatir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Agung melindungi kita semua. Lagi pula, bukankah sampai sesiang ini Paman belum menyajikan seseorang kepada Baginda?”. Ajisaka dibawa menghadap Prabu Dewatacengkar. Melihat seorang pemuda yang berbadan kekar, Sang Prabu sangat bergembira. Segera Sang Prabu turun dari singgasana dan menghapiri Ajisaka. Ketika Prabu Dewatacengkar akan mengangkat tubuhnya, Ajisaka berkata, ”sebelum Baginda menyantap hamba, perkenankanlah hamba mengajukan sebuah permintaan”. “Katakan apa yang kamu minta?” sahut Sang Prabu dengan tidak sabar. Kemudian sambil menoleh ke arah patih, Sang Prabu berkata, “Kamu akan mendapat hadiah, Paman Patih. Sudah lama aku tidak menyantap manusia semuda ini. Akhir-akhir ini hanya orang-orang tua yang kamu sajikan. Dagingnya sudah tak enak lagi”. “Hamba mohon diberi sejengkal tanah,” kata Ajisaka. “Untuk apa?” tanya Sang Prabu. “Bukankah kamu akan segera mati?”. “Sepeninggal hamba, tanah itu ditempati oleh kerabat hamba. Dan lagi, tanah yang hamba minta tidak luas”. “Apakah seluas alun-alun? Atau seluas desa?” Tanya Sang Prabu. “Hanya seluas ikat kepala hamba,” jawab Ajisaka. ”Ha-ha-ha-ha-ha,” Prabu Dewatacengkar tertawa tergelak-gelak. Konon jika Prabu Dewatacengkar tertawa, suaranya akan menggelegar, seperti suara guruh. “Seribu kali luas ikat kepalamu akan kuberi,” sambungnya. Ajisaka mulai mengurai ikat kepalanya. Ia memegang salah satu ujungnya. Ujung yang lain dipegang oleh Prabu Dewatacengkar. Sang Prabu mundur selangkah demi selangkah untuk membentangkan ikat kepala itu. Terjadilah suatu keajaiban. Ikat kepala itu ternyata dapat membentang dan membentang, makin lama makin luas. Alun-alun kerajaan Mandang Kamulan tertutup oleh ikat kepala itu.
Ketika Prabu Dewatacengkar sudah mundur sampai di tepi pantai selatan, Ajisaka mengibaskan ikat kepalanya. Maka terceburlah sang prabu ke laut selatan dan menjelma menjadi seekor buaya putih mulai saat itu Ajisaka menggantikan jabatan Prabu di Mendang Kamulan.
Kini ia menjadi seorang Prabu di Mendang Kamulan. Sampai pada suatu hari, Prabu Ajisaka ingat bahwa keris pusakanya tertinggal di Gunung Kendeng. Ingatannya melayang ke masa lalu, sebelum ia pergi ke kerajaan Mendang Kamulan. Waktu itu ia pergi bersama dengan 2 orang pengiringnya, ialah Dora dan Sembada. Ajisaka ingin pergi ke Mendang Kamulan tanpa membawa senjata. Ia meminta Sembada untuk tinggal di daerah pegunungan Kendeng, dan menjaga keris pusakanya. Sedangkan Dora diperintahkan untuk mengikutinya. “Kelak aku sendiri yang akan mengambil keris pusaka ini. Jangan sekali-kali kamu berikan kepada orang lain,” pesan Ajisaka. Sembada berjanji untuk menjunjung tinggi perintah itu.
Maka sekarang Dora diperintahkan untuk mengambil keris pusaka itu. Prabu Ajisaka berpesan, “Katakan pada Sembada bahwa aku memerintahkan kamu menjemput kuris pusaka, dan mengajak Sembada menghadap ke Mendang Kamulan”.  Sembada tidak bersedia menyerahkan keris itu. Katanya, “Bukankah dulu Raden Ajisaka berjanji untuk mengambil sendiri keris pusaka ini? Aku juga mendapat pesan untuk tidak menyerahkan keris ini pada orang lain”. “Memang benar,” ujar Dora. “Tetapi pada saat ini baginda sedang sibuk. Banyak urusan kerajaaan yang harus diselesaikannya. Karena itu, akulah yang diutusnya. Aku mengemban tugas seorang raja.”
Sembada tetap tidak mau menyerahkan keris pusaka itu. Ini menyebabkan Dora menjadi marah. “Ingat,” katanya “Aku adalah duta baginda. Dan aku wajib menjalankan segala perintahnya”. “Aku juga abdinya,” sahut Sembada. “Aku pun wajib untuk menjalankan segala titahnya”.
Pertengkaran itu kemudian berkembang menjadi perkelahian. Bahkan akhirnya Dora maupun Sembada menggunakan senjata masing-masing. Keduanya sama-sama sakti. Setelah lama bertarung. Dora dan Sembada bersama-sama gugur. Tidak ada yang kalah , tidak ada yang menang.
Prabu Ajisaka yang telah lama menunggu-nunggu kedatangan kedua abdinya menjadi tidak sabar. Dengan pengiring secukupnya, Prabu Ajisaka menyusul ke lereng pegunungan Kendeng.
Menyaksikan kedua abdinya yang setia bersama-sama tewas, Prabu Ajisaka sangat sedih. Sang Prabu menyadari bahwa baik Dora maupun Sembada telah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Dora benar, karena melaksanakan perntah raja. Sebaliknya, Sembada juga tidak salah, karena telah menjunjung tinggi pesannya. Prabu Ajisaka sendiri yang bersalah.
Untuk mengenang dan menghargai jasa kedua abdinya itu, Prabu Ajisaka menggubah sebuah sajak. Sajak itu dimaksudkan untuk mengenang kedua abdinya yang gugur dalam mengemban tugas. Beginilah bunyi sajak itu :
“HANA CARAKA DATA SAWALA PADHA JAYANYA MAGA BATHANGA” yang dalam terjemahan secara harafiahnya lebih kurang :
“Ada utusan mereka bertengkar sama-sama sakti semua menjadi mayat” Prabu Ajisaka memerintahkan rakyatnya menghafalkan saja itu. Dengan demikian kesetiaan Dora dan Sembada kepada tugas akan selalu dikenang. Demikian pula diharapkan agar rakyat Mendang Kamulan dan segenap keturunannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Untuk setiap suku kata pada sajak itu, dibuatkan suatu tanda khusus. Ini kelak menjadi urut-urutan huruf yang kemudian dikenal sebagai huruf Jawa. Sampai saat ini, orang Jawa masih menggunakan huruf itu.


BAB III
KESIMPULAN

3.1  Kesimpulan
Perkembangan aksara Jawa juga ada kaitan dengan perkembangan bahasa Jawa yang lahir sebagai alat komunikasi masyarakt.
Aksara Jawa Kuno sulit diketahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara jawa dan aksara jawa baru. Karena, hanya sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini.

3.2  Saran
Aksara Jawa tidak boleh untuk kita lupakan, melainkan harus kita menjaga dan melestarikan aksara. Aksara Jawa dan aksara Lain memiliki keunikan tersendiri mengenai bentuk, dan cara penuliasannya.